Tanaman dan buahnya disebut dengan istilah bun.
Minuman bun pun populer di daerah sekitar.
Selanjutnya, pada akhir abad ke-9, kelompok sufi dari Tarekat Syadziliyah mengenal seduhan bun itu dari para penggembala di Ethiopia.
Saat kembali ke Yaman, mereka membawa serta bibit-bibit bun.
Salah satu tokohnya adalah Abul Hasan Ali ibn Umar, hakim di pemerintahan Sultan Saladdin II di selatan Ethiopia.
Di Yaman, seduhan bun itu ini dikenal sebagai qahwa.
Istilah ini awalnya dipakai untuk anggur.
Di kemudian hari kopi memang sempat dijuluki The Wine of Islam.
Minuman dari biji kopi disebut qahwa karena membangkitkan dan menyegarkan pikiran.
Sebaliknya, khamr (minuman keras) bisa menghilangkan akal pikiran.
Qahwa dipakai sebagai teman untuk berzikir dan beribadah hingga Subuh.
Istilah qahwa diyakini akar dari kata coffee, cafe, maupun kopi saat ini.
Orang kaya di Yaman dan sekitarnya minum kopi di ruangan khusus.
Warga biasa minum kopi di qahveh khaneh alias rumah kopi.
Pada abad ke-15, para peziarah dan pedagang muslim menyebarkan kopi ke Persia, Mesir, Turki, juga Afrika Utara.
Budidaya kopi dan perdagangannya dimulai di Jazirah Arab.
Pada abad ke-15, kopi ditanam di distrik Yaman di Arab.
Pada abad ke-16 kopi dibudidaya di Persia, Mesir, Suriah, dan Turki.
Rumah kopi pun marak di kota-kota di Timur Tengah.
Para pengunjung tak hanya minum kopi dan bercakap-cakap, tapi juga mendengarkan musik, bermain catur, dan bertukar informasi.
Para politisi, filosof, seniman, pendongeng, pelajar, dan pelancong larut dalam obrolan warung kopi.