Ationg juga menyinggung pengalamannya saat dipanggil sebagai tersangka oleh Polda Kepulauan Babel pada tahun 2016 atas tuduhan perambahan kawasan hutan Desa Sungai Padang tersebut.
Namun, penyidikan akhirnya dihentikan karena tidak ditemukan cukup bukti bahwa dirinya melakukan tindak pidana.
“Penyidikan itu sudah dihentikan dengan surat ketetapan resmi dari Polda. Bahkan saksi ahli yang saya datangkan mempertanyakan keabsahan penetapan hutan lindung di lokasi yang bahkan terdapat kompleks pekuburan di dalamnya,” jelasnya.
Ia menilai, penetapan kawasan hutan harus mempertimbangkan kondisi riil di lapangan dan tidak serta-merta mengorbankan masyarakat lokal yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidup dari lahan tersebut.
“Jangan korbankan masyarakat. Saya lahir, besar, dan hidup di sana. Semua orang tahu itu. Kita hanya ingin kejelasan dan keadilan,” tegas Ationg.
Kasus ini mencuat kembali seiring meningkatnya perhatian publik terhadap pengelolaan kawasan hutan di daerah, terutama yang menyangkut konflik lahan antara warga dengan kebijakan pemerintah.
Ationg pun berharap ada evaluasi serius agar masyarakat lokal tidak terus menjadi korban dari kebijakan yang tidak komunikatif. (bilitonnews.co/tedja pramana)